Kajati Aceh Tahan Ketua BRA Terkait Korupsi Rp.15,7 Miliar

Laporan: AYU RAHAYU author photo



Banda Aceh – Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh akhirnya menahan Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA) Suhendri terkait dugaan tindak pidana korupsi pengadaan budi daya ikan dan pakan di Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dengan nilai Rp15,7 miliar, Selasa 15 Oktober 2024.

Selain Suheri, penyidik juga menahan 4 tersangka lainnya nyakni Zulfikar selaku koordinator atau penghubung Ketua BRA. Muhammad selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Mahdi selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) serta Zamzami selaku peminjam perusahaan.

Kajati Aceh melalui Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejati Aceh Ali Rasab SH menerangkan setelah dilakukan penerimaan dan penelitian terhadap para tersangka berikut dengan benda sitaan/barang buktinya oleh Jaksa Penuntut Umum, para tersangka langsung dilakukan penahanan dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kedepan terhitung 15 Oktober hingga 03 November 2024 di RUTAN/Klas II B Banda Aceh.

“Bahwa sesuai dengan Surat Pemanggilan terhadap para Tersangka untuk dilakukan Penyerahan Tanggung Jawab Tersangka dan Barang Buktinya (Tahap II) pada Hari ini Selasa tanggal 15 Oktober 2024, selanjutnya setelah dilakukan penerimaan dan penelitian terhadap para tersangka berikut dengan benda sitaan/barang oleh Penuntut Umum terhadap para Tersangka langsung dilakukan pemeriksaan Kesehatan oleh Dokter Klinik Adhyaksa Pratama Kejaksaan Tinggi Aceh, dan setelah dinyatakan dalam kondisi sehat terhadap Para Tersangka sehingga langsung dilakukan penahanan dengan membawanya ke rumah tahanan,” jelas Ali Rasab.

Menurut Ali Rasab, adapun terhadap Para Tersangka telah diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagai pihak yang bertanggungjawab oleh Penyidik Kejaksaan Tinggi Aceh dalam perkara Tindak Pidana Korupsi dugaan Penyimpangan dalam Pengadaan Budidaya Ikan Kakap dan Pakan Rucah untuk Masyarakat Korban Konflik pada Badan Reintegrasi Aceh Tahun Anggaran 2023 di Kabupaten Aceh Timur yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Perubahan (APBA-P).

Oleh sebab itu, para tersangkan melanggar Primair : Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Subsidair : Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Ali Rasab juga menyebut alasan dilakukan penahanan dalam rangka mempercepat proses penanganan perkara dan adanya kekhawatiran para Tersangka akan melarikan diri, merusak atau mehilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP.

Pasal yang disangkakan kepada para Tersangka diancam dengan pidana penjara di atas 5 (lima) tahun sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP, yakni : Primair : Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun; sedangkan

“Subsidair : Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun,” ungkap Ali Rasab.

Dalam kasus ini, pengadaan budidaya ikan kakap dan pakan rucah ini merupakan salah satu program usulan BRA bagi korban konflik di wilayah Aceh Timur. Pengadaan ini memiliki nilai Rp15,7 Miliar yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Perubahan (APBA-P) tahun 2023.

Dalam kontrak kerja pengadaan itu disebutkan ada 9 kelompok yang jadi sasaran penerima. Namun dalam pelaksanaannya, para ketua kelompok tidak pernah menerima bantuan dari BRA.Jaksa menemukan bahwa mereka rata-rata hanya menerima sejumlah uang tunai yang bervariasi dan tidak dalam bentuk bibit ikan.

Diperoleh fakta ke sembilan kelompok tidak ada menerima bantuan bibit ikan kakap dan pakan rucah serta tidak ada menandatangani berita acara serah terima (fiktif) sehingga tidak sesuai dengan ketentuan.

Dari hasil penghitungan kerugian negara oleh auditor ditemukan hasil pekerjaan itu sama sekali tidak diterima oleh penerima manfaat. Padahal pencairan yang masuk ke rekening perusahaan senilai Rp 15,3 Miliar setelah dikurangi potongan infak dan PPh.




Share:
Komentar

Berita Terkini