Aksi penipuan terjadi di mana-mana. Ada yang samar. Lebih banyak tersembunyi oleh sikapnya. Logat bicaranya lemah-lembut. Senyumnya klise. Raut wajahnya meniscaya. Penampilannya up to date. Susah dibedakan, apa ia orang bijak atau bejat.
Penipu tak memandang itu siapa. Jaman semakin canggih, sang penipu pun tak kalah cerdik dari mangsanya. Beragam cara pun dilakukan agar hajatnya terkabul. Kadang orang pintar pun terseret ke bujuk-rayu palsu. Mereka kepincut dengan sesuatu yang ekstra mudah, ekstra murah, dan ekstra segalanya.
Bila si mangsa hobi dengan olah raga, maka penipu biasanya akan lebih pintar berbicara tentang olah raga. Bila si target suka pada tokoh agama tertentu, maka si penipu akan menyusupkan beberapa tokoh penting agama dan akan memojokkan salah satu tokoh serta meninggikan figur lainnya. Di saat si mangsa mulai terpancing, langsung penipu menebarkan jalanya.
Dan masih banyak modus operasi dari seorang penipu dalam membekuk korban. Sehingga korban pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Suatu sore saya kedatangan seorang tamu membawa barang lumayan berat. Ternyata ia mau menjual baju dan sarung. Sejujurnya saya katakan kalau tidak mau membelinya. Lagi pula baju dan sarung di lemari banyak. Sedangkan dana yang ada pada istri untuk keperluan lain.
Saya perhatikan sikapnya terlihat kelelahan karena berjalan kaki sembari membawa barang dagangan. Ia meminta air putih. Sebagai rasa kemanusiaan, saya ambilkan segelas air minum. Sehabis minum ia tetap tidak beranjak dari teras rumah. Lalu ia bercerita panjang-lebar bernada sedih tentang perjalanan bisnisnya, istri saya tiba-tiba baper (terbawa perasaan).
Melihat korbannya mulai terseret ke perangkapnya, penjual baju semakin gencar meceritakan pengalaman pahitnya. Singkat cerita, istri saya pun membeli baju dagangannya. Terang saja, bugdet pun berkurang. Seminggu kemudian, saya pontang-panting mencari pinjaman untuk pembayaran belanja bulanan.
Saya pun menceramahi istri, kalau aksi itu merupakan penipuan. Istri pun menyadari. Itu dilakukannya karena rasa kemanusiaan.
Tiga hari kemudian ada sales promotion girl datang ke rumah lagi. Ia menawarkan produk kecantikan dengan brand baru. Istri mengatakan kalau dirinya tidak punya uang. Gadis itu memaksa untuk mencobanya dulu. Tapi istri tetap tidak mau dengan alasan sudah punya. Gadis berpenampilan meniscaya itu tak mau menyerah. Ia terus mencecar istri, kalau dagangannya akan merubah penampilan seseorang menjadi lebih cantik.
Akhirnya, istri saya mengatakan dengan tegas, kalau dirinya harus menyelesaikan kerja di dapur. Tidak punya banyak waktu karena segra menyiapkan masakan. Istri menyuruhnya agar menawarkan pada tetangga. Sales promotion girl itu pun keluar dari rumah saya. Ia terlihat kecewa.
Teknik menipu seperti ini sudah marak terjadi di banyak tempat. Maka kita harus mengatakan “tidak!” bila mengalami peristiwa seperti yang saya alami. Semoga bermanfaat!.
Editor: Redaksi